Paradoks Kembar Part 4


Dengan perasaan kecewa maka ia pun kembali ke rumah, dengan harapan sang ibu sudah berada di sana. Ketika sampai di rumah, ia mendapati sang adik  menunggu di luar rumah dan mengatakan bahwa sang ibu belum juga pulang. Perasaan cemas dan khawatir pun mulai menghinggapi keduanya, takut sesuatu yang buruk menimpa ibu mereka. Malam pun tiba, sang ibu juga masih belum pulang. Kedua kakak beradik itu pun semakin cemas, mereka tidak tahu harus kemana lagi mencari sang ibu. Semua tempat yang mereka anggap mungkin, sudah mereka datangi. Mulai dari daerah disekitar ladang sampai sungai tempat mereka biasa mencuci dan mandi, namun tetap juga tidak menjumpai sang ibu ditempat-tempat itu. Makanan yang mereka beli di pasar tadi pun mulai beranjak dingin. Mereka tidak lagi memikirkan perihal kejutan yang mereka harap bisa membahagiakan sang ibu seperti yang sebelumnya mereka rencanakan. Satu hal yang ada dalam pikiran keduanya sekarang adalah bagaimana menemukan sang ibu untuk menghilangkan rasa khawatir yang semakin lama semakin berkecamuk dalam benak keduanya. 

Hari berganti hari, sang ibu juga belum kembali ke rumah. Kedua kakak beradik itu sudah tidak tahu lagi kemana harus mencari sang ibu. Bahkan mereka sudah mencari di beberapa tempat yang sama secara berulang-ulang, namun hasilnya tetap sama. Pikiran-pikiran negatif pun mulai terlintas dalam benak mereka. Apakah mungkin sang ibu bunuh diri dengan cara melompat dari bukit yang ada di atas sungai lantas kemudian jasadnya hanyut terbawa arus sungai ke tempat yang sangat jauh. Tapi kemungkinan semacam itu langsung ditepis keduanya, mengingat betapa kuat dan sabarnya sang ibu menjalani kehidupan yang sulit selama ini, maka tidak mungkin sang ibu melakukan hal yang bodoh semacam itu. 

Selang seminggu setelah kehilangan sang ibu, dan dengan keadaan yang tidak bersemangat dan hampir putus asa, kedua kakak beradik itu mulai beraktivitas seperti biasa lagi dan pergi ke ladang untuk bisa mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Pada suatu siang ketika mereka berdua sedang beristirahat di bawah sebuah pohon besar di dekat ladang yang mereka garap, istirahat kakak beradik itu terganggu dengan suatu aroma tidak sedap yang terbang dibawa angin. Mulanya mereka berdua mengabaikan aroma tidak sedap itu dan menganggap aroma itu hanyalah aroma bangkai hewan yang sudah lama mati. Namun, pada keesokan harinya, aroma tidak sedap itu kembali tercium dan kali ini aromanya lebih menyengat dari hari sebelumnya. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk mencari sumber bau tidak sedap itu untuk memuaskan rasa penasaran yang menghinggapi keduanya. Ketika tiba di depan sebuah semak belukar, aroma itu terasa semakin menyengat, dan mereka percaya bahwa dari balik semak belukar itulah aroma tidak sedap itu berasal. Ketika sampai di balik semak belukar itu, alangkah terkejutnya keduanya melihat apa yang ada tepat di hadapan mereka berdua. Sambil berteriak haru dengan suara yang sangat menyayat hati dan tetesan air mata yang mengucur deras dari kedua mata mereka, kedua kakak beradik itu dipaksa harus menerima kenyataan menyaksikan jasad sang ibu terbujur kaku di hadapan keduanya dalam keadaan yang sudah tidak utuh lagi seperti sudah di cabik-cabik dan dimakan oleh hewan buas. 

Walaupun pahit, kedua kakak beradik itu mau tidak mau harus bisa menerima kenyataan hidup yang mereka alami. Dalam usia yang relatif belum dewasa, keduanya sudah menjadi anak yatim piatu dan harus menghadapi kerasnya kehidupan tanpa adanya seorang ayah ataupun ibu yang bisa melindungi dan mengayomi mereka. Mungkin, setelah menyaksikan kepergian kedua anaknya ke pasar tempo hari, sang ibu lalu pergi ke ladang seperti biasanya. Namun ketika sedang asik bekerja, seekor harimau yang selama ini memang kerap mereka dengar aumannya disekitar ladang, datang dan memangsa sang ibu. Itulah kemungkinan yang sejauh ini bisa mereka bayangkan perihal kematian sang ibu. Mengingatnya saja sudah menimbulkan rasa sakit yang sangat pada hati keduanya, apalagi membayangkan bagaimana sang ibu harus berjuang melawan harimau itu guna mempertahankan hidupnya, itu adalah suatu hal yang tak sanggup dan tak ingin mereka ingat-ingat lagi walau hanya dalam bentuk lintasan pikiran. 

Selang beberapa hari setelah menguburkan jasad sang ibu di sekitaran rumah tempat tinggal mereka, tepat di samping kuburan sang ayah, kedua kakak beradik itu memutuskan untuk pindah dari tempat tinggal mereka sekarang menuju tempat yang baru. Hal itu mereka lakukan demi mengurangi perasaan sedih yang sangat mendalam yang mereka rasakan dikarenakan kematian sang ibu dengan cara yang sangat mengenaskan itu. Tidak pernah sedikitpun terpikir oleh mereka, bahwa senyuman yang diberikan oleh sang ibu tempo hari, adalah senyuman terakhir yang bisa mereka lihat dari wajah wanita yang sangat mereka cintai itu. 

Kedua kakak beradik itu terus berjalan menyusuri hutan untuk menemukan tempat yang mereka rasa tepat untuk memulai kehidupan yang baru. Setelah berjalan selama beberapa hari, akhirnya tibalah mereka di suatu tempat yang mereka rasa sudah cukup jauh dari tempat asal mereka dan cocok untuk dijadikan tempat tinggal dan bercocok tanam. Mualilah mereka berdua mendirikan gubuk untuk tempat tinggal, dan secara perlahan-lahan, hutan perawan yang berada di sekeliling gubuk itu, mereka ubah menjadi lahan yang bisa diitanami. Seiring berjalannya waktu, sepertinya mereka berdua sudah mulai terbiasa hidup tanpa kehadiran kedua orangtua disamping mereka. Walaupun sesekali, kenangan-kenangan bersama ayah dan ibu mereka kerapa muncul dalam ingatan masing-masing, dan air mata pun menjadi tak terbendung membasahi pipi keduanya.

Kunjungi Salam Aqiqah Untuk Kebutuhan Kambing Aqiqah Anda.

Komentar